Negara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ: Desember 2011

Jumat, 16 Desember 2011

Pidato Ir Soekarno 27 Juli 1963 "Ganyang Malaysia"

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno

Sultan Hamid II Pencetus Lambang Kebangsaan RI


Sultan Hamid II
Memerintah1945 – 1950
Lahir12 Juli 1913
Flag of Pontianak Sultanate.svg PontianakKesultanan Pontianak
Meninggal30 Maret 1978
Bendera Indonesia JakartaIndonesia
PendahuluSultan Syarif Thaha
PenggantiSultan Syarif Abubakar
WangsaWangsa Syarif Alkadrie
AyahSultan Syarif Muhammad


Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di PontianakKalimantan Barat12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.

Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di PontianakKalimantan Barat12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan MalinoDenpasarBFOBFCIJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada tanggal 17 Desember 1949, Hamid II diangkat oleh Sukarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa adanya portofolio. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Republik dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara kesatuan[1]
Hamid II kemudian bersekongkol dengan mantan Kapten DST (Pasukan Khusus) KNIL Raymond Westerling yang terkenal atas kebrutalannya dalam peristiwa Pembantaian Westerling untuk mengatur sebuah kudeta anti-Republik di Bandung dan JakartaAngkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling terdiri dari personil-personil KNIL, Regiment Speciale Troepen (Resimen Pasukan Khusus KNIL), Tentara Kerajaan Belanda dan beberapa warga negara Belanda termasuk dua inspektur polisi. Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA menyerang sebuah garnisun RIS kecil dan menduduki bagian-bagian Bandung sampai mereka akhirnya diusir oleh bala bantuan tentara di bawah Mayor Jenderal Engels, pimpinan KNIL. [2]
Pada tanggal 26 Januari 1950, unsur-unsur pasukan Westerling menyusup ke Jakarta sebagai bagian dari kudeta untuk menggulingkan Kabinet RIS. Mereka juga berencana untuk membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX dan Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo. Namun, mereka kemudian dihadang oleh pasukan TNI dan terpaksa melarikan diri. Sementara itu, Westerling terpaksa mengungsi ke Singapura dan APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950. [2]
Bukti dari konspirator Kudeta APRA yang ditangkap menyebabkan penahanan Hamid II pada tanggal 5 April. Pada 19 April Hamid II telah mengaku keterlibatannya dalam kudeta Jakarta gagal dan dalam merencanakan serangan kedua di Parlemen (dijadwalkan 15 Februari) yang gagal. Karena kehadiran tentara RIS, serangan itu dibatalkan. Peran pemerintah Pasundan dalam kudeta menyebabkan pembubarannya pada tanggal 10 Februari, yang semakin melemahkan struktur federal RIS. Pada akhir Maret 1950, Kalimantan Barat yang dipimpin Hamid II menjadi salah satu dari empat negara bagian yang tersisa di Republik Indonesia Serikat[2]
Peran Hamid II dalam kudeta yang gagal tersebut menyebabkan keresahan yang meningkat di Kalimantan Barat untuk segera berintegrasi ke dalam Republik Indonesia. Setelah sebuah misi pencari fakta oleh Komisi Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat RIS mengumumkan hasil pemungutan suara bulat dengan selisih 50 dibanding satu suara yang menyetujui integrasi Kalimantan Barat ke dalam Republik Indonesia. [3] Setelah bentrokan dan konflik yang ditimbulkan para mantan pasukan KNIL terjadi di Makassar dan usaha pemisahan diri Ambon menjadi Republik Maluku Selatan, akhirnya Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh pemerintahan pusat di Jakarta.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar DewantoroM. A. PellaupessyMohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengantangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen HankamPusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des IndesJakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkanpelukis istanaDullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 karena tuduhan bersekongkol dengan Westerling dan APRA-nya.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.





Sumber

Selasa, 13 Desember 2011

Veteran Belanda: Orang Indonesia Ramah dan Baik



Pada 9 Desember 1947 tentara Belanda menyerbu desa Rawagede dan membunuh ratusan pria dan anak laki-laki. Menurut versi Belanda jumlah korban 150 orang, sementara versi Indonesia menyebut 431 orang.
Mohon maaf
Pemerintah Belanda memutuskan memberi ganti rugi 240 juta rupiah kepada para ahli waris yang menggugat di pengadilan Den Haag. Selain itu pengadilan memutuskan agar pemerintah Belanda mohon maaf kepada para korban dan kerabatnya.

Dalam laporannya, koran Het Algemeen Dagblad(AD) menampilkan reaksi para ahli waris korban terhadap keputusan pengadilan Belanda tersebut. Anti Rukiyah (93), salah satu janda korban, merasa lega. Dia sebenarnya tidak begitu mengharapkan ganti rugi. "Selama saya bisa makan dan anak-anak saya bahagia, saya juga bahagia," katanya.
"Kita harus memaafkan tentara Belanda," kata Wanti Binti Sariman, ahli waris lain.
Selain mengutip reaksi para kerabat korban, AD juga menampilkan tanggapan para veteran dan orang-orang Belanda yang dulu bertugas di Hindia Belanda, nama Indonesia di zaman penjajahan Belanda.
Marah
Janda Jenderal Spoor sangat marah ketika mendengar berita pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi. "Masa minta maaf dan membayar ganti rugi," katanya.
Kejadian seperti di Rawagede itu, menurut Nyonya Spoor, terjadi di seluruh Hindia Belanda. Kedua belah pihak melakukan itu, tambahnya. Ia bertanya-tanya kenapa tidak ada yang menyebut kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia.
"Apakah Indonesia juga mau minta maaf atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap pemuda-pemuda Belanda?"
Tersinggung
Para veteran tentara Belanda juga berkeberatan terhadap permintaan maaf pemerintah Belanda dan penawaran ganti rugi bagi korban Rawagede. Wil Patist, pengurus VOMI, yaitu persatuan veteran Belanda yang ditugaskan ke Indonesia, mengatakan semua veteran Hindia Belanda tersinggung.
Patist tidak membantah, peristiwa seperti di Rawagede itu terjadi di Hindia Belanda zaman itu. Hal seperti itu biasa terjadi dalam kondisi perang, katanya.
Reint Meijer, putra seorang tentara Belanda yang bergabung di Tijgerbrigade (Brigade Macan, Red.) terlibat penyerbuan Rawagede, bercerita di sebuah forum. Ia menulis, ayahnya mengalami trauma dan stress. "Ia berusaha bertaubat kepada Tuhan, sehubungan dengan peristiwa Rawagede. Menurut dia, mayoritas orang Indonesia baik dan ramah."
Demikitan tulis Reint Meijer, seorang putera tentara Belanda yang terlibat pembantaian Rawagede, seperti dikutip Het Algemeen Dagblad.

Sabtu, 10 Desember 2011

Aktivis HAM UBK

Selamat jalan soudara perjuanganmu membela kebenaran akan kami lanjutkan.

Selamatkan Bumi Kita

Menjaga dan melestarikan lingkungan adalah tanggungjawab kita semua. Bukan hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah atau pemerintahan desa. Menjaga lingkungan harus diawali dari lingkungan kita sendiri di rumah. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi pencemaran udara, air dan tanah. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Membuang sampah pada tempatnya.